Monthly Archives: Oktober 2012

Quo vadis Kepala Sekolah

Gambar

Quo vadis Kepala Sekolah

Oleh Drs. HAMKA, M.Pd

Kepala SDN. Rawabuaya 02 Pagi

Pada dasarnya penulis secara pribadi, mendukung penggelontoran maupun pelaksanaan Surat Keputusan Mendiknas Nomor. 162 tahun 2003, yang diperbaharui dengan Surat Keputusan/Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor. 28/U/2010 tertanggal 27 Oktober 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Penulis sendiri sudah 20 tahun lebih menjadi kepala sekolah, mau dilaksanakan aturan yang 20 tahun lebih juga pasti terkena demosi, yang penting, ada enggak payung hukumnya?. Kita ini jangan sampai terkesan bangsa yang suka bercanda dengan aturan, bangsa yang gemar  coba-coba dengan aturan. Kalau memang tujuannya mulya, yaitu dalam rangka sebuah inovatif di dalam dunia pendidikan dan selama enggak ada dampak sosial yang berlebihan, siapa takut kembali jadi guru.

Yang terpenting pelaksanaan Surat Keputusan/Peraturan Kementerian Pendidikan Nasional No. 28/U/2010 betul-betul diaplikasikan secara konsekwen dan tepat, jangan sampai terkesan asal melaksanakan keputusan menteri saja atau sekedar melaksanakan kewajiban, sebab untuk Kepala Sekolah Dasar malah bertentangan dengan Keputusan Menteri itu sediri. Di dalam Surat Keputusan Kementerian Pendidikan Nasional No. 28/U/2010 enggak ada yang berbunyi kepala sekolah bermasa jabatan 15 tahun lebih, yang ada pasal 10 ayat 1 dan 2 ialah 2 x 4 tahun = 8 tahun (dua priode).

Mau dibawa kemana jabatan kepala sekolah?.  Mau diapakan jabatan kepala sekolah?. Quo vadis kepala sekolah setelah pelaksanaan Keputusan/Peraturan Kementerian Pendidikan Nasional No. 28/U/2010. Bagaimanakah pemerintah daerah (pemda) dalam hal ini dinas pendidikan menyikapi atau menterjemahkan surat keputusan itu?. Tetapi kita juga jangan menutup mata dampak sosial dari pelaksanaan keputusan ini, khususnya Kepala Sekolah SD.

Pasalnya, kenapa pemberlakuan itu masih setengah hati?. Karena di lapangan dalam pelaksanaannya berbeda antara provinsi yang satu dengan provinsi lainnya di Indonesia dan belom serempak pelaksanaannya. Di DKI Jakarta sendiripun berbeda Kepala Sekolah SMP dengan Kepala Sekolah SD. Padahal Menterinya sama, nomor surat keputusannyapun sama, kepala dinasnyapun sama.

Timbul pertanyaan, kenapa sih Kepala Sekolah Dasar yang terkena demosi yang telah menduduki jabatan 15 tahun lebih, merujuk kemana? apa dasar hukumnya?. Seharusnya semuanya sama, yaitu kepala sekolah yang sudah 12 tahun lebih semua diberlakukan, bila perlu yang 8 tahun lebih karena sesuai dengan aturan mainnya, agar enggak terjadi salah tafsir terhadap keputusan ini dan jangan sampai terjadi tanda tanya, ada apa?

Kalau kita konsekwen dan konsisten merujuk Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 28/U/2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah itu hanya 8 tahun dan ini dijelaskan pada pasal 10 ayat (1) bahwa, Kepala sekolah/madrasah diberi 1(satu) kali masa tugas selama 4 (empat) tahun. Kemudian ayat (2) Masa tugas kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa tugas apabila memiliki masa tugas minimal baik berdasarkan penilaian kinerja. Ayat (3) Guru yang melaksanakan tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah 2 (dua) kali masa tugas berturut-turut, dapat ditugaskan kembali menjadi kepala sekolah/madrasah lain yang memiliki nilai akreditasi lebih rendah dari sekolah/madrasah sebelumnya, apabila : (a) telah melewati tenggang waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) kali masa tugas ; atau (b) memiliki prestasi yang istimewa.

Ketika pemberlakuan SK/Peraturan Mendiknas Nomor. 162 tahun 2003, yang diperbaharui dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 28/U/2010 tertanggal 27 Oktober 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah dikatakan, bahwa Keputusan Menteri Pendidikan Nasional/Peraturan Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem pendidikan nasional.

Masalah priodesasi/demosi  jabatan kepala sekolah, banyak kepala sekolah yang sudah dua priode merasa skeptis bahkan apatis terhadap dunia pendidikan secara umum. Yang dikhawatirkan kemungkinan, ada yang merasa buat apa kerja terlalu serius, jabatan saya hanya dua priode, seperti jabatan presiden saja. Apalagi kepala sekolah yang kembali menjadi guru hampir rata-rata lanjut usia ( lansia), terlepas dari pro dan kontra dengan masalah ini.

100_4391Sebaiknya setiap pemerintah daerah (pemda) dalam hal ini dinas pendidikan melihat di lapangan dampak dari pelaksanaan keputusan itu khususnya di Sekolah Dasar (baca. SD). Apalagi di sekolah dasar yang notabene kepala sekolahnya yang pada awalnya sebagai guru kelas bukan guru bidang studi, pasti akan berimplikasi terhadap suasana di sekolah tersebut, yang pada akhirnya bermuara terhadap kualitas pendidikan sekolah itu sendiri. Guru yang sudah lansia dalam kontek mantan kepala sekolah itu semangatnya agak kurang untuk masuk kedalam kelas secara penuh dan utuh karena berbagai hal.

Kalau penulis boleh berpendapat lebih jauh, sebaiknya dunia pendidikan enggak usahlah ikut-ikutan terjerumus kedalam kubangan politik praktis. Dengan masuknya virus politik praktis kedalam tubuh dunia pendidikan, pendidikan bukannya semakin baik atau berkualitas malah semakin carut marut. Sebab menurut penulis pendidikan harus berada pada ranah politik moral (haigh politik) bukan pada tataran atau domain politik praktis (low politik). Karena dalam dunia pendidikan sangat diperlukan suasana yang benar-benar kondusif dan nyaman.

Akibat dunia pendidikan dikotori oleh sampah politik praktis akhirnya iklim di dunia atau birokrasi pendidikan enggak lagi kondusif, sebut saja jabatan kepala sekolah ini, karena merujuk kepada jabatan politik maka jabatan tersebut dibatasi dua priode saja. Janganlah dunia pendidikan dilumuri oleh intri-intrik politik praktis!. Pendidikan harus berjalan di rel nya sendiri. Pendidikan, ibarat kereta, enggak boleh satu penumpang/orangpun atau siapapun yang memberhentikan kereta di tengah jalan, kecuali di pos yang sudah ditentukan. Berikanlah otonomi terhadap dunia pendidikan, biarlah dunia pendidikan mengatur rumahtangganya sendiri

Dunia pendidikan harus kondusif, harus nyaman, tenteram dan kita  harus bisa membedakan dengan suasana di gedung DPR sana, ataupun dalam jabatan politik/publik dan struktural lainnya. Sampai sekarang jabatan kepala sekolah enggak jelas juntrungannya apakah masuk eselon V, atau fungsional murni, atau perkawinan antara fungsional dengan struktural, ini juga perlu diperhatikan oleh BKN ataupun BKD setempat. Tetapi kenapa, ketika demosi diberlakukan jabatan kepala sekolah disamakan dengan jabatan politik/publik/ struktural.

Dalam konteks Guru Sekolah Dasar (SD) yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah SD, rasanya enggak setara, kalau jabatan kepala sekolah disejajarkan dengan jabatan presiden/menteri/ gubernur/walikota atau jabatan publik lainnya yang dibatasi hanya dua kali empat tahun. Berapa sih, tunjangan jabatan Kepala Sekolah Dasar?. Eselon berapasih jabatan Kepala Sekolah Dasar?.  Dapat fasilitas apasih jabatan Kepala Sekolah Dasar?. Apa kepala sekolah mendapat inventaris motor atau mobil dinas?.

Sebenarnya tunjangan Kepala Sekolah Dasar sekarang ini kurang sepadan dengan beban kerja ataupun misi yang dia emban. Kalau kita bandingkan dengan pegawai golongan I dan II saja TKD nya lebih kecil, karena pegawai yang golongan I dan II tersebut enggak dipotong pajak penghasilan 15% , apalagi kalau dibandingkan dengan pejabat lain, lurah saja, entar dibilang kepala sekolah kurang bersyukur. Padahal masa depan bangsa ada digenggaman kepala sekolah.

Bukankah jabatan kepala sekolah jabatan fungsional?, karena kepala sekolah hanyalah seorang guru yang diberi tugas tambahan sesuai dengan pasal 1 ayat (1) Surat Keputusan/Peraturan Kementerian Pendidikan Nasional No. 28/U/2010. Ini terasa kurang pas. Bahkan enggak  tanggung-tanggung masa jabatan Kepala Sekolah SD disamakan dengan masa jabatan Presiden Amerika Serikat yaitu maksimal 2 x 4 tahun. Yang dikhawatirkan kebijakan ini ada muatan politisnya.

Drs. Mukhlis, MM, salah seorang  Kepala Sekolah SD yang masa jabatan kepala sekolahnya kurang lebih 19 tahun yang juga Sekertaris PGRI Cabang Cengkareng mengatakan “Seharusnya semua Kepala Sekolah SD yang jabatannya lebih dari 12 tahun harus demosi juga, bila perlu yang jabatannya 8 tahun lebih juga diikutkan baik SD maupun SMP”.

“Pendek kata jangansetengah-setengah melaksanakan Surat Keputusan Mendiknas tersebut. Jangan sampai ada kesan pilih kasih bahkan sebagai kelinci percobaan. Boro -boro kepala sekolah yang sudah lama mengabdi mendapat penghargaan, malah sebaliknya dicampakkan begitu saja”.

“Semua Kepala Sekolah SD yang 12 tahun lebih harusnya semua disertakan, kalau memang dinas pendidikan enggak mau dibilang standar ganda, karena sesuai dengan pasal 10 ayat 1 dan 2 Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28/U/2010, masa jabatan kepala sekolah hanya 8 tahun (dua priode)”, jangan sampai ada kesan tebang pilih”. imbuh Mukhlis. Hal ini juga diamini oleh Yahiri, seorang kepala sekolah senior di bilangan Jakarta Barat.

Sering penulis katakan, kalau suatu kebijakan lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya lebih baik kebijakan itu ditinjau kembali, tetapi kalau kebijakan itu lebih banyak manfaatnya dari pada mudharatnya enggak ada salahnya diteruskan. Yang terpenting jangan sampai pelaksanaan keputusan ini hanyalah sebuah blunder dari sebuah kebijakan.

Bagaimana dengan seorang Guru SD yang memang punya potensi dan prestasi, bahkan juara I (satu) lomba guru prestasi tingkat provinsi DKI Jakarta mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah SD pada usia 30 tahun. Pada usia 38 atau 40 tahun guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah tersebut sudah  dua priode, sedangkan usia pensiun bagi guru tersebut 60 tahun.

Usia yang tersisa masih 20-22 tahun, mau menduduki jabatan yang lebih tinggi dari kepala sekolah peluangnya sangat sempit, karena terhalang terbatasnya peluang birokrasi (baca: untuk menjadi Pengawas atau Kasi sulit), sedangkan kepala sekolah tersebut punya potensi dan prestasi. Apakah harus dipensiunkan dini?, kalaupun menjadi guru kelas tentunya pertimbangan psikologisnya juga perlu diperhitungkan (baca.SD), bisakah suasana kondusif tercipta di sekolah tersebut? Kalau seorang lurah demosi menjadi staf di kecamatan enggak ada masalah, karena enggak melibatkan pihak ketiga (baca. murid).

Apakah hanya seorang guru yang berusia antara 50-52 tahun saja yang harus menjadi kepala sekolah?. Bagaimana dengan seorang guru muda yang punya potensi dan prestasi dan pernah juara I guru teladan/prestasi tingkat nasional, sedangkan usianya baru 30 tahunan, apa harus menunggu sampai usianya mencapai 50 tahun, agar tidak mengalami demosi?

Kalau jabatan politik atau jabatan publik, sebut saja presiden, Gubernur Bank Indonesia, menteri, gubernur, bupati/walikotamadya atau birokrasi lainnya eselon III ke-atas, enggak ada masalah, boleh saja dibatasi priodenya, yaitu dua priode, kalau memang itu rujukannya Ketetapan MPR tahun 1999 tentang pembatasan jabatan presiden. Kalau dunia pendidikan sudah dokotori oleh limbah politik praktis, bangsa ini akan menjadi bangsa yang rapuh, karena politik dan profesionalisme enggak akan bisa berjalan bersama-sama.◙Hamka/P.01. (Gema. No. 01 Tahun 2011)

Ketika Guru “Dihargai”

Gambar

Ketika Guru “Dihargai”

 

Oleh Drs. HAMKA, M.Pd

Pengawas Utama Jakarta Barat

 

Guru adalah faktor penentu dalam sebuah proses belajar mengajar.  Selama hampir enam tahun bagi guru SD dan tiga tahun bagi guru SMP/SMA adalah waktu yang relatif lama bagi seorang guru dalam mentransformasi ilmu, membimbing dan mangasuh anak didik.

Guru  enggak kenal lelah, enggak kenal capebahkan saking bejibunnya kerjaan terkadang guru sampai mengesampingkan urusan pribadi dan keluarganya sendiri. Semuanya demi anak didik mereka yang tujuannya untuk menghantarkan  tercapainya prestasi yang maksimal bagi anak didiknya kelak.

Penulis sering katakan, suka enggak suka, senang enggak senang bahwa proses belajar mengajar  80% ditentukan oleh guru, sebab di dalam kelas gurulah orang yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses belajar mengajar. Faktor eksternal terhadap keberhasilan proses belajar mengajar hanya 20%, baik infrastruktur pendidikan maupun suprastruktur pendidikan.

Pendek kata nasib murid ditentukan oleh guru di dalam konteks transfer ilmu dan keberhasilan akademik maupun keberhasilan moral secara utuh. Guru di sekolah menjadi orangtua kedua, bahkan ada siswa/i yang lebih percaya kepada gurunya dibanding dengan orangtua kandungnya sendiri. Banyak murid yang lebih patuh terhadap nasehat gurunya, ini kenyataan, untuk itulah guru harus mampu memanfaatkan momentum ini.

Reformasi pendidikan berarti reformasi guru, salah urus pendidikan berarti juga salah urus guru. Harus kita akui, memang enggak mudah megurus guru, mengurus pendidikan enggak bisa sendirian, harus ada tanggungjawab bersama.

Di dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan di jelaskan, “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”.

Mau enggak suka enggak mau suka perlu adanya kamuan keras, komitnen, integritas dan keikhlasan dalam mengemban misi pendidikan. Guru mempunyai peran sentral dan strategis terhadap eksistensi bangsa. Guru sebagai garda terdepan dalam mengusung misi pendidikan yang dapat mempersatukan eksistensi bangsa.

Penulis terenyuh, ketika membaca sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh dalam memperingati Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT-PGRI ke-66 tahun 2011 lalu, dalam sambutan mendikbud itu dikatakan, seorang guru teladan pernah ditanya mengapa dia tertarik menjadi guru? Jawabnya adalah karena guru (bahkan hanya guru) yang dapat merasakan dan menyentuh pinggiran masa depan.

Dia tidak berharap dapat menyentuh masa depan karena hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Tetapi cukup dapat menyentuh pinggiran masa depan, karena melalui persinggungan dengan peserta didiknya yang mewakili masa depan tersebut, profesi guru menjadi jauh lebih menarik daripada profesi yang lain. Itulah sesungguhnya jawaban Guru Teladan.

Kemampuan menyentuh masa depan, walaupun hanya pinggirannya, menempatkan guru pada tanggung jawab yang sangat berat, namun mulia; karena kemampuan dan kesempatan itu tidak dimiliki yang lain.

Pada dirinya tertumpu beban tanggung jawab menyiapkan masa depan yang lebih baik, yaitu dengan berfungsi sebagai jembatan bagi para peserta didik untuk melintas menuju masa depan mereka. Ke masa depan yang bagaimana peserta didik akan dibawa tergantung pada jembatan (guru) itu.

Dari tiga penggalan masa (masa lalu, masa kini, dan masa depan), masa depanlah yang menjadi tujuan dengan memanfaatkan sebaik-baiknya masa lalu dan masa kini. Tugas guru sangat mulia karena menyiapkan generasi penerus demi masa depannya yang lebih baik, lebih berbudaya, dan sekaligus membangun peradaban.

Dengan demikian, secara hakiki dan asali (genuine) guru adalah mulia, menjadi guru berarti menjadi mulia, bahkan kemuliaannya sama sekali tidak memerlukan atribut tambahan (aksesori). Memuliakan profesi yang mulia (guru) adalah kemuliaan, dan hanya orang-orang mulia yang tahu bagaimana memuliakan dan menghargai kemuliaan.

Bertanggung jawab terhadap pembentukan masa depan menunjukkan bahwa guru berbeda dari profesi lainnya. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan apabila sebagai profesi, guru mendapat kehormatan memiliki Hari Guru. Kehormatan yang tinggi ini memiliki implikasi pentingnya profesionalitas guru (Depdikbud 2011).

Membesut prestasi  tentunya enggak mudah dilakukan oleh guru, apa lagi anak didik yang notabene terdiri dari berbagai strata sosial yang berbeda, tatapi guru berusaha untuk mengawinkan dari beberapa strata sosial yang berada di masyarakat maupun di sekolahnya.

Tugas berat guru terakomodasi secara signifikan dalam menentukan nasib anak didik selama beberapa tahun di bangku sekolah. Sebut saja siswa/i sekolah dasar (SD) dalam menentukan kelulusan diambil dari nilai semester 7 sampai semester 11 (kelas 4-6 semester ganjil untuk SD).

Di dalam konteks penentuan kelulusan, guru mempunyai andil besar terhadap nasib  anak didik kedepan. Sekarang kerja keras guru dihargai. Dulu, nasib anak hanya ditentukan oleh 3-4 hari dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN),  proses pembelajaran enggak dihargai sama sekali. Penentuan kelulusan sekarang sudah sangat ideal, dimana jerih payah guru sangat dihargai.

Contoh pengelolaan penilaian nilai akhir (NA) Bahasa Indonesia seorang siswa SD yang bernama Sulam seorang siswa kelas VI. 1) nilai rata-rata raport  = 6,00.  2) Nilai Ujian Sekolah (US) = 5,00, 3) Nilai Ujian Nasional (UN)= 2,00Pengelolaan US = 40% x 6,0=2,40 = 60%x 5,0 = 3,00, Nilai rata-rata Ujian Sekolah (US) 2,40 + 3,00 = 5,40.  Pengelolaan UN = 40% x 5,4 = 2,16 + 60% x 2,0 = 1,20= Nilai rata-rata USdanUN= 3,36, sedangkan SKM  Bahasa Indonesia = 2,00, karena 3,36 > 2,00 dan Matematika dan IPA juga di atas SKM= maka si Sulam LULUS, ini hanyalah sebuah contoh, artinya bahwa penilaian guru dari kelas IV-VI dihargai.

Eksistensi  guru bagi suatu bangsa amatlah strategis dan penting, apalagi bagi bangsa yang sedang membangun, terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintas perjalanan zaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberi nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamika untuk mengadaptasikan diri.

Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya kesiapan dan kendala sebagai seorang pembangunan. dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa dimasa depan tercermin dari potret dari guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat.

Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Orang yang pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu, belum dapat disebut sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus, apalagi sebagai guru yang profesional harus menguasai betul seluk beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainya perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan profesional tertentu.

Seseorang kalau mau menjadi guru SD harus melalui pendidikan S1-PGSD. Di dalam masyarakat tugas dan peran guru enggak bisa dibatasi, bahkan guru pada hakekatnya merupakan komponen strategis yang memilih peran penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa.

Penulis hanya ingin mengajak kepada teman-teman guru untuk menatap masa depan lebih baik, agar hidup kita akan terasa lebih hidup dan bermutu!. Kata orang pinter (baca bukan para normal) sering memberi nasihat bagus. Bila ingin tahu wajah pendidikan di suatu negara, lihatlah apa yang terlihat pada wajah anak-anak sekolah dasar (SD).

Semua komponen bangsa jangan sampai penetrasi informasi, ilmu, sosial dan budaya kepada generasi muda secara parsial, yang muaranya menjadikan generasi penerus bangsa menjadi generasi putus asa, generasi yang enggak punya masa depan, generasi yang kerjanya cuma menyalahkan orang yang pada akhirnya kita akan menjadi bangsa yang inersia dan terpecah belah.

Boro-boro kita bisa mengantarkan generasi muda kita menjadi generasi yang bertanggungjawab kepada masa depan bangsanya, kita harus bisa mengantarkan generasi muda kita untuk “bermimpi” 50 tahun kedepan.

Kalau penulis enggak salah dengar, apa yang pernah dikatakan oleh Andree Wongso seorang motivator kondang “Kalau kita lunak terhadap diri kita maka kehidupan akan menjadi keras, tetapi kalau kita keras terhadap diri kita maka kehidupan akan menjadi lunak”◙Hamka /P.01. (Gemawidyakarya. No. 08. Th. 2012)

“SPG-ku Yang Hilang”

Gambar

“SPG-ku Yang Hilang”

 

Oleh Drs. HAMKA, M.Pd

Pengawas Sekolah Utama Jakarta Barat

 

Sekolah Pendidikan Guru yang dahulu kita kenal dengan sebutan SPG, sekarang tinggal kenangan. Kalau enggak salah sejak tahun 1990-an Sekolah Pendidikan Guru ini (SPG) dibubarkan pemerintah. Pembubaran ini  tentunya mempunyai alasan yang kuat, apalagi SPG cuma setingkat SLTA dan sekolah sederajat lainnya sebut saja SMA, SMK dan sebagainya.

Kenapa pemerintah membubarkan SPG?, kemudian diganti dengan PG-SD (pendidikan guru sekolah dasar dua tahun atau Diploma II). Karena SPG dianggap sudah enggak layak sebagai lembaga pencetak guru. Dalam undang-undang No. 14 Tahun 2005 yaitu tentang guru dan dosen ditambah lagi dengan landasan operasionalnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor. 74 tentang guru dan Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru. Memang, tamatan Diploma II PGSD, apalagi SPG sudah enggak layak dalam konteks qualifikasi pendidikan guru secara formal.

Pada dasarnya pembubaran SPG penulis setuju dalam konteks qualifikasi jenjang pendidikan, namun demikian roh, SPG jangan ikut hilang atau lenyap ditelan bumi, okelah, kalau SPG dibubarkan mungkin karena dianggap sudah enggak layak karena lulusannya setara dengan SLTA, tetapi  enggak ada salahnya kurikulum SPG khususnya mata pelajaran yang terkait dengan ilmu pendidikan dan keguruannya diadopsi secara utuh  oleh lembaga-lembaga pendidikan pencetak guru yaitu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) atau Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Sayangnya IKIP juga ikut digusur atau diganti. Padahal Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) adalah benteng terakhir sebagai lembaga pencetak guru profesional.

Justru kalau penulis boleh mengenang dan menilai SPG, adalah sebuah lembaga pencetak guru SD paling berkualitas dan terukur pada masa itu, bahkan tergolong sangat mumpuni. Kalau penulis boleh berpendapat lebih jauh lagi SPG merupakan pabrik guru SD yang paling ideal pada saat itu. Ma’af, lulusan SPG juga enggak kalah kualitasnya dengan guru-guru tamatan S1 terutama dalam konteks ilmu keguruannya, walaupun perlu di asah setiap waktu.

Berdasarkan informasi yang penulis dengar dari 2,7 juta guru di Indon`esia, lebih dari 50 persen belum berpendidikan S1 khususnya guru SD. Sejak lama, pendidik atau guru dianggap sebagai orang yang paling memiliki kecerdasan dalam melakukan perubahan, karena guru selalu berhadapan langsung dan terprogram dengan peserta didik.

Besarnya tanggung jawab para pendidik dalam membentuk karakter bangsa dapat dikaitkan dengan kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap pendidik. Terlalu banyak harapan yang dibebankan kepada guru-guru Indonesia untuk meramu pendidikan agar menjadi lebih baik.

Berat memang beban yang harus dipikul oleh guru, mengingat banyaknya harapan yang ingin diwujudkan oleh bangsa ini sebagaimana yang dituangkan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukannya enggak mungkin, harapan yang dibebankan pada guru tersebut enggak sejalan dengan kenyataan yang ada.

Penulis tetap mempunyai keyakinan, peran utama pendidikan ada pada guru, bahkan 80% keberhasilan proses belajar mengajar ditentukan oleh guru. Sarana dan prasarana hanya 20%. Karena itu, wawasan, pengalaman dan pendidikan guru menjadi amat menentukan. Mudah-mudahan guru juga mau membuka diri, menambah wawasannya agar lebih luas, tetapi juga guru jangan merasa sudah paling pintar, yang akhirnya lupa diri enggak mau belajar lagi  seperti lari ditempat.

Apalagi di dalam undang-undang No. 14 Tahun 2005 yaitu tentang guru dan dosen pasal 8 Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.  Pasal 9Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.

Okelah, kalau SPG dibubarkan mungkin karena dianggap sudah enggak layak karena lulusannya setara dengan SLTA, tetapi  kenapa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) juga dibubarkan atau diberangus. Padahal Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) adalah benteng terakhir sebagai lembaga pencetak guru.

Justru kalau penulis boleh mengenang dan menilai SPG, adalah sebuah lembaga pencetak guru SD paling mumpuni dan terukur. Kalau penulis boleh berpendapat lebih jauh lagi SPG merupakan pabrik guru SD yang paling ideal pada saat itu. Ma’af, lulusan SPG juga enggak kalah kualitasnya dengan guru-guru tamatan S1 dalam konteks keguruan atau ilmu didaktik metodik, walaupun perlu di asah setiap waktu dalam konteks iptek.

Dalam konteks penguasaan ilmu tentang kependidikan, teknik-teknik mengajar sebenarnya tamatan SPG juga enggak kalah kualitasnya dengan tamatan S1 keguruan sekarang. Memang, dalam konteks penguasaan iptek harus kita akui dengan jebolan S1 sekarang, karena sekarang memang sudah tuntutan. Kalau seorang guru tamatan S1 sekarang mengoperasikan komputer saja enggak bisa, ini juga memalukan. Tinggal mengoperasikan komputer saja enggak bisa apalagi membuat komputer, ini menjadi bahan renungan kita semua.

Penulis hanya bisa berandai-andai, kalau saja SPG enggak bubarkan mungkin saja kualitas pendidikan lebih cepat meningkat. Apalagi kalau tamatan SPG diwajibkan meneruskan ke S1 IKIP (bukan digabung jadi universitas) yang sesuai dengan  bidang keahliannya. Alangkah luar biasanya profesionalisme guru-guru Indonesia.

Di SPG siswa/siwinya di cekoki teori-teori pendidikan yang sangat mumpuni, semisal psikologi pendidikan, ilmu mendidik, didaktik methodik, psikologi anak dan ilimu-ilmu lain yang terkait langsung dengan dunia pendidikan dan pengajaran.

Pada Sekolah Pendidikan Guru (SPG) siswa/siswi kelas III, sudah mulai di gembleng praktik mengajar di sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh kepala sekolah serta guru pembimbing atau guru pamong. Pada kelas III juga siswa/siswi SPG sudah di loloh bagaimana cara-cara membuat satuan persiapan mengajar atau (SP) yang sekarang disebut  Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

 

Tamatan SPG wajib meneruskan ke IKIP (FKIP)

Lembaga Pencetak guru seperti Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) harusnya dihidupkan kembali dan satu paket, agar lebih terfokus dalam mencetak guru, sehingga menghasilkan guru yang benar-benar professional dan qualified.

Akibat SPG dibubarkan dan IKIP berubah menjadi Universitas, pendidikan di sekolah yang dilakukan guru telah direduksi menjadi pendidikan Adiministrasi Sekolah, sehingga lulusannya banyak yang puas hanya menjadi kepala sekolah saja.

Kalaupun kita enggak mau keberadaan kembali Sekolah Pendidikan Guru (SPG) atau Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang dahulu, kenapa kita enggak cari alternatif lain?, agar nantinya guru lebih profesional dan terfokus, yang ada sekarang hanya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di universitas-universitas, terlalu sempit!.

Penulis sangat menyayangkan, kalau profesi guru hanya dijadikan pelarian, sudah enggak diterima di Universitas favorit baru masuk perguruan tinggi keguruan. Harusnya hal seperti ini kita hindari, kalau memang kita sepakat bahwa pendidikan pondamen suatu bangsa.

Harapan penulis nantinya lulusan pengganti SPG dan dan IKIP orang yang benar-benar mampu menerjemahkan bahasa kurikulum kedalam bahasa pengajaran. Sebab kurikulum hanyalah seonggok barang mati yang harus diterjemahkan kedalam bahasa pengajaran, dari bahasa pengajaran kedalam bahasa pendidikan, dari bahasa pendidikan kedalam bahasa sosial. Orang yang mampu menterjemahkannya adalah guru-guru yang professional qualified.

Pendirian Sekolah Tinggi Guru ataupun apa namanya sebagai pengganti SPG dan IKIP di setiap Kabupaten atau kota Madya perlu dipikirkan. Lulusannya setara S1/D4 dan berhak memakai gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) bila perlu dengan iming-iming ikatan dinas, lama pendidikannya antara 4-5 tahun atau antara 8 sampai dengan 10 semester ditambah dengan pendidikan profesi untuk mendapatkan sertifikat pendidik (baca ; kalau fakultas kedokteran koas) bila perlu juga tinggal diasrama.

Setelah lulus setara S1/D4 boleh mengambil sepesialis I (misal sepesialis I IPA, sepesialis I Bahasa Indonesia/Inggris dan seterusnya) dan sepesialis II setingkat dengan Pascasarjana (Magister Pendidikan).

Lulusan pengganti SPG/IKIP langsung diangkat PNS dengan Pangkat Pengatur TK I (II/d) atau Penata Muda (III/a), ditambah lagi dengan uji sertifikasi yang tentunya dengan perimbangan gaji yang memadai. Sekarang sebenarnya guru harus tersenyum dan bersyukur, kalau kita bandingkan dengan penghasilan guru beberapa tahun lalu, penghasilan guru sekarang sudah relatif  memadai, tinggal bagaimana guru memenej penghasilannya sendiri.

Ini semua hanyalah sebuah obsesi atau boleh dibilang sebuah mimpi penulis. Sebab penulis ingin sekali pendidikan di Indonesia benar-benar berkualitas secara utuh. Sebab keberhasilan manusia enggak lepas dari kemampuannya mengawinkan tiga jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga) dan pendidikan nonformal (masyarakat).◙Hamka/P.01

Sekolah Tinggi Guru, Sebuah Alternatif

Gambar

                            Sekolah Tinggi Guru, Sebuah Alternatif                   

 

Oleh Drs. Hamka, M.Pd

Kepala SDN. Rawabuaya 02 Pagi

 

         Kalau kita sekarang ini ingin melakukan reformasi pendidikan yang benar-benar mendasar, maka kita harus melakukan perubahan-perubahan yang dapat mengembalikan wawasan profesional yang telah hilang. Kita harus melakukan perubahan-perubahan yang dapat mengembalikan semangat patriotisme kepada sistem pendidikan kita. Kita harus akui peran guru masih sangat dibutuhkan dan dominan dalam proses belajar mengajar.

         Lembaga Pendidikan guru seperti Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) harusnya dihidupkan kembali, agar lebih terfokus dalam mencetak guru, sehingga menghasilkan guru yang benar-benar profesional dan qualified. Akibat IKIP berubah menjadi Universitas, pendidikan di sekolah yang dilakukan guru telah direduksi menjadi pendidikan Adiministrasi Sekolah, sehingga lulusannya banyak yang puas hanya menjadi kepala sekolah, apalagi secara struktural karir guru terhambat oleh sempitnya peluang birokrasi.

         Kalau kita tidak mau melanjutkan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang dahulu, kenapa kita tidak cari alternatif lain?, agar nantinya guru lebih profesional dan terfokus, yang ada sekarang hanya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di universitas-universitas, terlalu sempit. Harapan penulis  nantinya lulusan Sekolah Tinggi Guru (STG) orang yang benar-benar mampu menerjemahkan bahasa kurikulum kedalam bahasa pengajaran. Sebab kurikulum hanyalah barang mati yang harus diterjemahkan kedalam bahasa pengajaran, orang yang mampu menterjemahkannya adalah guru-guru yang qualified.

         Pendirian Sekolah Tinggi Guru di setiap Kabupaten atau kota Madya sudah sangat mendesak, sebagai pengganti Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dahulu. Lulusannya setara S1/D4 dan berhak memakai gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dengan iming-iming ikatan dinas, lama pendidikannya antara 4-5 tahun atau antara 8 sampai dengan 10 semester ditambah dengan pendidikan profesi untuk mendapatkan sertifikat pendidik (baca ; kalau fakultas kedokteran koas) tinggal diasrama.

         Lulusann Sekolah Tinggi Guru atau STG langsung diangkat PNS dengan Pangkat Pengatur TK I (II/d) atau Penata Muda (III/a), ditambah lagi dengan uji sertifikasi yang tentunya dengan perimbangan gaji yang memadai bila perlu tiga kali lipat dari PNS biasa sehingga guru tidak tergoda dengan mencari tambahan diluar tugasnya (baca: tidak ada lagi guru yang jadi tukang ojek) dan diimbangi pula dengan reward ataupun punishment yang jelas dan berimbang. Setelah lulus setara S1/D4 boleh mengambil sepesialis I (misal sepesialis I IPA, sepesialis I Bahasa Indonesia/Inggris dan seterusnya) dan sepesialis II setingkat dengan Pascasarjana (Magister Pendidikan).

         Memang, kita tidak pungkiri kalau di DKI Jakarta penghasilan guru sudah lumayan, selain dari gaji ditambah lagi sertifikasi (bagi yang sudah), uang TPP, Kesra. Apalagi terhitung Januari 2010 akan ada tunjangan daerah yang katanya lumayan besar. Hal ini tentunya harus disyukuri oleh guru. Karena sekarang ini guru terus diperhatikan oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.

         Muaranya generasi muda cerdas akan tertarik untuk memasuki sekolah guru. Tentunya cara perekrutannya sangat-sangat selektif, bila perlu harus aktif salah satu bahasa asing, sebut saja bahasa Inggris atau bahasa Arab, Jepang, Mandarin dan seterusnya, sehingga guru mampu menghadapi arus globalisasi, bahkan guru harus bisa bermimpi 50 tahun kedepan.

         Sekolah Tinggi Guru (STG) sebuah alternatif, karena sekolah ini nantinya akan menggantikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan atau yang dulunya kita kenal dengan IKIP. Kalau departemen-departemen lain di republik ini memiliki sekolah kedinasan, sebut saja STPDN milik Departemen Dalam Negeri, kenapa Departemen Pendidikan Nasional yang notebene paling berhak mengurus pendidikan belum memiliki sekolah kedinasan berupa Sekolah Tinggi Guru yang dikelola langsung oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Depdiknas atau diawasi langsung dibawah Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) serta Pemda setempat.

         Pasal 29 ayat satu sampai tiga undang-undang sistem pendidikan nasional di jelaskan:  (1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. (2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. (3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

         Harapan penulis dengan didirikannya Sekolah Tinggi Guru yang merupakan sekolah kedinasan milik Depdiknas akan membawa perubahan pola pendidikan yang selama ini diterapkan pada FKIP-FKIP di universitas-universitas negeri maupun swasta. Sehingga nantinya guru tidak akan puas hanya menjadi menejer  pendidikan atau kepala sekolah, dia akan menjadi pendidik maupun pengajar yang baik dan bertanggung jawab terhadap bangsanya bahkan menjadi seorang ilmuan.

         Di perkuat lagi dengan adanya Undang-undang tentang Guru maka hal ini akan menjamin perlindungan terhadap profesi guru dan masyarakat akan memperoleh pelayanan pendidikan yang berkualitas dan profesi guru akan diminati kembali oleh generasi muda yang berkualitas”, Sehingga jabatan guru menjadi pilihan yang utama dan pertama oleh generasi muda kita, bukan sebagai jabatan buangan atau sisa setelah tidak diterima di universitas non guru atau instansi lain.

         Jika sistem pencetakan atau perekrutan guru diselenggarakan masih dengan pola sekarang, maka kondisi pendidikan tidak akan bergerak naik walaupun anggaran pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN/APBD. Pendidikan tidak mampu melahirkan dan megembangkan pengetahuan.◙Hamka/P.01(Gema No. 12 Tahun 2009)

Mengurus Guru Masih Setengah Hati

Gambar

Mengurus Guru Masih Setengah Hati

 

Oleh. Drs. Hamka, M.Pd.

Kepala SDN. Rawabuaya 02 Pagi

 

            Hingar bingar dunia politik sejak reformasi menggelinding seakan-akan enggak ada habis-habisnya. Dari kasus Century hingga makelar kasus (markus) ini benar-benar menyita perhatian kita semuanya. Benarkah kebisingan dan gemuruh dunia politik seakan-akan mampu meredam semua persoalan bangsa ini?.

            Setiap hari kita disajikan tontonan sinetron politik oleh para politisi kita baik di media cetak maupun di media elektronik, memang, dalam rumus politik, enggak ada kawan atau lawan yang abadi, tetapi yang ada hanyalah kepentingan abadi, yang ujung-ujungnya kompromi politik dan bagi-bagi jatah kekuasaan.

            Sejak diadakan pemilu pertama diera reformasi tahun 1999. Partai politik bermunculan bagaikan kecambah tumbuh dimusim hujan. Setiap akan diadakan pemilu legislatif  bermunculanlah partai-partai politik baru, karena partai lamanya enggak bisa ikut pemilu (baca: karena mendapat suara kurang dari batas minimal), maka para politisi ramai-ramai mengganti nama partainya agar pada pemilu yang akan datang partainya bisa ikut bertanding lagi.

            Ketika pemilu demi pemilu bergulir semua partai berlomba-lomba untuk mengusung kenaikkan anggaran pendidikan. Apalagi di-era reformasi dunia politik seakan-akan dijadikan panglima pembangunan bangsa.  Yang terjadi adalah, berkaratnya sebuah tatanan negara yang lama-kelamaan dikhawatirkan dapat merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri bahkan negara dan bangsa Indonesia yang sama-sama kita cintai ini.

            Benarkah stakeholder  pendidikan, maupun para pengambil kebijakan yang masih setengah hati membela nasib guru?, guru hanya  dijadikan mainan politik para pengambil keputusan. Guru sebenarnya enggak perlu sanjungan ataupun pujian yang berlebihan. Sebab kita berbicara negara, harus berbicara masalah pendidikan, bicara pendidikan harus berbicara masalah guru.

            Padahal kalau kita berpikir secara jernih, enggak ada yang namanya birokrasi pendidikan kalau enggak ada guru. Kemungkinan enggak ada yang namanya Kemendiknas maupun dinas-dinas pendidikan diprovinsi. Apa yang mau diurus?. Mengurus pendidikan berarti mengurus guru. Apakah peroses belajar mengajar berjalan, kalau enggak ada guru. Sebab peran guru masih sangat besar dalam kegiatan belajar mengajar, dalam peningkatan kualitas pendidikan. Penulis tetap mempunyai keyakinan yang mendalam, bahwa peran utama pendidikan ada pada guru.

Menurut penulis gedung sekolah boleh enggak ada, bangku boleh enggak ada, papan tulis boleh enggak  ada, serta mobiler lainnya boleh juga enggak ada. Kalau semua yang disebut di atas enggak ada proses belajar mengajar masih bisa berjalan, tetapi kalau guru enggak ada proses belajar mengajar enggak akan terjadi, enggak akan ada proses belajar mengajar.

Proses belajar mengajar masih bisa dilakukan di kebun, di bawah pohon, dihalaman sekolah dan seterusnya, bahkan di pinggir jalananpun masih bisa dilaksanakan. Akan tetapi apakah semua itu bisa terlaksana tanpa guru?. Sekarang timbul pertanyaan apakah benar mengurus guru masih setengah hati? Ini pertanyaan yang perlu kita jawab bersama.

Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mengakui, guru masih memegang kunci utama sukses tidaknya proses belajar mengajar di sekolah. Memang, faktor guru sebenarnya merupakan salah satu dari lima variable pendidikan yang menentukan.

Gedung sekolah boleh mentereng, ruangan menggunakan mesin pendingin (AC), peralatan laboratorium paling mutakhir, kurikulum paling hebat se-Asia Tenggara, tetapi kalau gurunya tidak bergairah, tidak semangat, ya, sama saja.

Sebaliknya, meski peralatan yang tersedia kurang begitu memadai, fasilitas yang tersedia amat sederhana, tetapi bila ditangani oleh guru yang baik, guru yang bertanggung jawab terhadap bangsanya, guru yang mengerti tugasnya, guru yang memahami kewajibannya, bisa diharapkan proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik.

            Pada era pemerintahan orde baru sebenarnya sudah mengadvokasi perjuangan nasib guru, walaupun belum signifikan hasilnya, ini dibuktikannya dengan pengelontoran Surat Keputusan Menteri Negara Aparatur Negara Nomor: 26/MENPAN/1989, Tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Guru, dimana seorang guru memungkinkan bisa mencapai golongan IV/e, walaupun enggak semudah membalik telapak tangan.            Namun kesemuannya ini masih perlu perjuangan keras para komunitas Umar Bakri  untuk mengubah nasibnya sendiri. Harus kita akui, bahwa mengubah nasib juga memang enggak mudah dan bukan seperti kita makan cabe, yaitu langsung pedes, penuh rintangan dan perjuangan yang optimal.

            PGRI, yang notabene lembaga penghimpun guru di seluruh penjuru tanah air, seharusnya lebih banyak kita dorong untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan guru yang muaranya ikut memperjuangkan peningkatan kesejahteraan para guru-guru di Indonesia. Jangan sampai ada kesan, komponen bangsa ini enggak senang melihat guru senang!.

                        Para stakeholder pendidikan baik di tingkat bawah sampai tingkat atas, harus seiya sekata dalam memperjuangkan nasib guru. Pengurus Besar PGRI sudah lumayan tanggap terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi guru, termasuk salah satunya ingin mempertahankan keberadaan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) yang dibubarkan pada pertengahan April 2010 lalu.

                        Dengan pembubaran itu merupakan petaka bagi komunitas Umar Bakri, sehingga PB-PGRI sampai menghimpun guru untuk berdialog secara massal alias  berdemo di gedung Kemendiknas maupun MPR/DPR RI pada tanggal 11 dan 12 Mei 2010 lalu.

                        Dalam dialog itu Wakil Kementerian Pendidikan Nasional Prof. Dr. Fasli Djalal Ph.D mengatakan”Tidak ada sedikitpun unruk mengurangi peran guru. Penghapusan Ditjen PMPTK karena selama ini masalah guru hanya diurus satu direktorat. Kita ingin para guru diurus berbagai direktorat, sehingga perhatian lebih besar”.

                        Dihadapan ribuan guru di gedung MPR/DPR Ketua Umum PB-PGRI Dr. Sulistyo, M.Pd  menegaskan, penghapusan Ditjen ini dinilai melecehkan nasib guru honorer, guru bantu dan guru tidak tetap. ”Perpres No. 24 adalah upaya sistematis untuk untuk menyingkirkan guru dan tenaga kependidikan” (Republika, 12 Mei 2010).

                        Pembubaran Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) berimplikasi terhadap eksistensi nasib guru yang muaranya berimbas terhadap peningkatan mutu atau kualitas pendidikan secara umum. Boleh saja Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) dibubarkan, tetapi dalam konteks membela nasib guru, seharusnya ada lembaga pengganti yang khusus menangani masalah guru, agar nasib guru lebih terurus secara profesional.

                        Keberadaan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), yang selama ini mempunyai tugas terhadap peningkatan mutu guru, mengurus nasib guru (khusunya masalah sertifikasi guru, peningkatan mutu pendidik dsb) akan mengalami hambatan yang signifikan.

                        Kita juga belom tahu pasti apakah pemda atau ditjen-ditjen terkait yang berada lingkungan Kemendiknas yang paling berhak mengurus nasib guru. Yang penting,  jangan sampai saling lempar tanggung jawab dalam mengurus guru antara pemerintah pusat (baca. Kemendiknas) atau pemerintah daerah (pemda).

                        Terkait dengan hal itu, di dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Pasal 16 dikatakan,  Ayat  (1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Ayat (2) Tunjangan profesi diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Ayat (3) Tunjangan profesi dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

                        PD I PGRI Provinsi DKI Jakarta, sebenarnya juga sudah berusaha memperjuangkan nasib guru diantaranya yang paling populer dikalangan guru DKI Jakarta sekarang ini adalah, kenaikan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) para guru, walaupun hasilnya belom nampak, mari kita tunggu saja hasilnya!. Benarkah guru masih termarjinalkan?. Benarkah para pengambil kebijakan masih setengah hati mengurus nasib guru?.

                        Presiden boleh ganti, pemerintahan boleh ganti, kabinet boleh ganti, tetapi, ketika kita berbicara kebijakan pendidikan jangka panjang harusdilihat manfaat dan mudhorotnya suatu kibijakan itu sendiri, apalagi menyangkut masalah nasib guru. Hal ini juga perlu dipikirkan oleh semua komponen bangsa. Kalau kebijakan itu ternyata lebih banyak manfaatnya dari pada mudharatnya, kenapa kita enggak teruskan?.

Menurut penulis langkah yang paling bijaksana bukanlah mengharuskan orang berdiri saling berhadapan saling memaki dan ngotot satu sama lainnya. Akan tetapi sesungguhnya yang dibutuhkan pada saat ini adalah, pikiran jernih dan nalar serta sentuhan nurani yang penuh kearifan. Dengan harapan, agar ada jalan keluar dari kemelut masalah peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, termasuk masalah kesejahteraan guru baik berskala nasional maupun provinsi dapat segera diatasi secara elegan dan cantik.

            Bila suatu bangsa atau negara ingin cepat maju, jangan memarjinalkan pendidikan. Bila peperintahan ingin barokah, jangan memarjinalkan guru.enggak akan rugi, negara atau pemerintah membela nasib guru. Karena pendidikan adalah invest jangka panjang.

            Presiden kedua Amerika Serikat John Adam pernah mengatakan “Pembangunan pendidikan rakyat jelata lebih penting dari pada harta orang-orang kaya di seluruh Negara”.

            Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah enggak perlu ragu membela nasib  guru, karena hasilnya akan kelihatan 20-30 tahun kedepan, di mana para generasi muda cerdas akan berlomba-lomba dan berbondong-bondong untuk memasuki perguruan tinggi pendidikan (lembaga pencetak guru), yang pada akhirnya akan menjadi guru-guru yang berkualitas dan bertanggungjawab terhadap bangsanya.◙Hamka /P.01 (Gema No.08 Tahun 2010)

Enggak Mudah Menjadi Guru Profesional

Gambar

Enggak Mudah Menjadi Guru Profesional

Oleh. Drs. HAMKA, M.Pd

Kepala SDN. Rawabuaya 02 Pagi

 

            Di Indonesia belom banyak guru yang bisa menjadi inspirasi bagi muridnya untuk maju. Belom banyak guru yang bisa membantu peserta didik untuk mengeksplorasi pikirannya. Ternyata masih banyak guru dalam melaksanakan tugasnya hanya sekadar mengajar. Atau, guru sekadar mentransformasi informasi dari buku yang dibacanya untuk disampaikan kepada peserta didik di depan kelas.

            Kondisi ini sangat memperihatinkan, peserta didik belom punya kemampuan menganalisis. Karena pendidikan adalah soal mind set dan ini merupakan tanggung jawab seorang guru.

            Kalau kita amati, sebenarnya ada empat tipe guru. Pertama, guru yang hanya bisa memindahkan informasi dari buku ke peserta didik di depan kelas. Kedua, guru yang bisa menjelaskan sebuah masalah atau bahan ajar. Ketiga, guru yang bisa menunjukkan bagaimana materi ajar dengan baik. Keempat, guru yang paling ideal, adalah guru yang bisa menjadi inspirasi atau motivator bagi muridnya untuk maju.

            Kalau kita mau disebut guru professional, ada beberapa kriteria guru professional yang harus kita laksanakan diantaranya: Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran, menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika,  memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

            Paling enggak dalam kesehariannya, guru professional harus mampu melaksanakan tugasnya dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara baik misalnya: Menyusun program, menyajikan program, melaksanakan evaluasi   hasil  belajar, melaksanakan analisis hasil evaluasi belajar, melaksanakan penyusunan pelaksanaan program  perbaikan  dan pengayaan, menyusun dan melaksanakan  program  bimbingan  dan penyuluhan serta kegiatan ekstra kurikuler.

            Sebenarnya pemerintah sedang berusaha meningkatkan kualitas guru dengan meningkatkan kualifikasi akademik guru yang belom S-1/D-IV. Namun demikian terkadang masih ada guru-guru yang kehilangan semangat atau enggan untuk belajar  atau kuliah lagi. Sekarang ini, sekitar 1,1 juta guru sudah berkualifikasi akademik S-1/D- IV, dari total guru kurang lebih 2,7 juta. Sisanya,  sekitar 1,6 juta masih harus ditingkatkan, yang juga tak kalah penting adalah insentif tambahan bagi guru.

Memang, enggak mudah menjadi guru professional, sebab guru professional adalah selain  guru itu mampu melaksananakan tugas kesehariannya dengan baik, tetapi juga guru harus bertanggung jawab terhadap bangsanya, terhadap masyarakatnya, harus mengerti tugasnya, harus memahami kewajibannya dan pada akhirnya bisa diharapkan proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik dan bermutu, tentunya lulusannyapun akan baik dan berkualitas pula.

            Guru professional juga harus memiliki kompetensi yaitu memiliki  pengetahuan, keterampilandan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.  Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

            Guru professional juga harus bisa bermimpi 50 tahun kedepan, enggak buta huruf digital alias komputer, mampu mengunyah kurikulum dan mampu menerjemahkan bahasa kurikulum kedalam bahasa pengajaran, bahasa pengajaran kedalam bahasa pendidikan, mampu menerjemahkan nahasa pendidikan kedalam bahasa sosial.

            Pendek kata, guru profesional, bukan saja sekedar memiliki selembar kertas berupa piagam sertifikasi yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang yang telah ditunjuk langsung pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, akan tetapi guru juga harus memiliki integritas, komitmen terhadap bangsanya.

                        Tetapi kesemuanya itu harus diimbangi reward atau penghargaan yang signifikandengan cara memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara rutin dan enggak tersendat-sendat.

            Gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, insentif lainnya, (baca. kalau di DKI Jakarta dikenal dengan TKD), semua dijadikan satu dalam pembayarannya setiap bulan. Sehingga akan nampak besar dan lebih bermanfaat, yang muaranya generasi muda cerdas akan melirik profesi guru sebagai pilihan utama dan pertamanya. Sebab kita juga enggak mau jadi manusia munafek, artinya baik insentif maupun kesejahteraan lainnya perlu juga dong ditingkatkan, sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan sertifikat setifikasi yang dia miliki◙Hamka /P.01. Gema No. 09 Tahun 2010

Jangan Terlalu Mudah Menyalahkan Guru!

Gambar

Jangan Terlalu Mudah Menyalahkan Guru!

 

Oleh Drs. HAMKA, M.Pd

Kepala SDN. Rawabuaya 02 Pagi

 

            Andaikan penulis boleh ber-analogi, kepala sekolah ibarat orang bercocok tanam atau petani ialah orang yang menyediakan kebun, bibit, pupuk, dan inprastruktur pertanian lainnya. Seorang petani kalau  ingin meningkatkan hasil pertaniannya yang dulu setiap hektar menghasilkan rata-rata hanya lima ton setiap musim panen, bagaimana caranya agar setiap musim panen yang akan datang sang petani bisa menghasil sepuluh ton setiap hektarnya. Kesemuanya ini masih banyak variable yang menentukan, salah satunya ialah harus dibantu oleh petugas penyuluh pertanian.

            Begitu juga di sekolah, kalau kepala sekolah tugasnya menyediakan gedung, guru, mobiler, serta inprastruktur pendidikan lainnya, akan tetapi andaikata kepala sekolah ingin meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya, maka harus minta bantuan kepada penyelia atau supervisor pendidikan dalam hal ini pengawas.

            Seorang kepala sekolah di sekolah yang ia pimpin pada tahun ini rata-rata anak kelas terakhirnya (baca; kelas VI untuk SD kelas III untuk SMP dan SMA) mendapat nilai 6,0, bagaimana caranya untuk meningkatkan nilai menjadi 7,0 harus dibantu oleh penyelia atau supervisor pendidikan (baca.pengawas). sebab tugas utama pengawas sebagai penyelia atau supervisor pendidikan di wilayah binaannya ialah bagaimana cara meningkatkan mutu pendidikan melalui gurunya.

            Melalui tangannyalah pengawas meramu guru agar menjadi guru yang berkualitas dan profesional. Dengan kata lain pengawas juga bagaikan koki, di mana ia mampu mengolah masakan agar masakan itu lebih nikmat dan berkualitas. Namun semua itu kan enggak semudah membalik telapak tangan, harus kerja keras dari berbagai pihak, termasuk kepala sekolah dan guru itu sendiri.

            Pengawas sebagai engkongnya guru, harus ikut bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan di wilayah binaannya, apalagi sekarang pengawas sudah ikut mencicipi kue sertifikasi. Sebab pengawas sekarang bukan sebagai inspektur pendidikan lagi, yang dalam tugas kesehariannya lebih banyak mencari kesalahan.  Pengawas sekarang sebagai supervisor pendidikan yang dalam tugas kesehariannya lebih banyak unsur pembinaan, bagaimana caranya agar suasana belajar di dalam kelas menjadi kondusif dan berkualitas.

            Dalam konteks peningkatan mutu guru atau pendidikan secara umum, pengawas adalah orang/institusi yang paling bertanggung jawab di bidang edukatif dalam hal ini terhadap mutu pendidikan, paling enggak mampu mendongkrak kualitas guru di wilayah binaanya, yang bermuara kepada kualitas pendidikan itu sendiri. Menjadi pengawas professional memang enggak mudah, apalagi pengawas yang notabene  sebagai bapak/ibunya kepala sekolah dan engkong/neneknya guru harus benar-benar menjadi inspire bagi guru dan kepala sekolah di wilayah binaannya. Pengawas, Kepala Sekolah, Guru, harus mampu bermimpi 50 tahun kedepan. Apa lagi di zaman sekarang kita semua se-akan-akan berpacu dengan waktu, berpacu dengan kemajuan teknologi.

            Di Indonesia belom banyak  pengawas yang menjadi inspirasi bagi guru dan kepala sekolah di wilayah binaannya untuk maju. Belom banyak pengawas yang bisa membantu guru dan kepala sekolah untuk mengeksplorasi pikirannya. Masih banyak pengawas dalam melaksanakan tugasnya sekadar menyampaikan informasi hasil rapat ataupun seminar-seminar, dan hal-hal yang bersifat administratif.

            Kita lebih banyak berkutat kepada hal-hal yang bersifat  administratif. Kepala sekolah dan guru hanya diwajibkan membuat SPJ, RAPBS, amandemen kurikulum, RPP, silabus, kisi-kisi, soal ulangan, administrasi sekolah serta administrasi kelas lainnya. Padahal guru seharusnya lebih banyak mengerjakan yang bersifat akademis, bahkan guru boleh dibilang sebagai ilmuan bukan administrator.

            Memang, semua yang disebut di atas penting, namun demikian kesemuanya itu bukan kitab suci yang seolah-olah menjadi acuan atau pedoman baku untuk menilai potret seorang kepala sekolah atau guru yang bersifat absulut. Ada kesan, kalau administrasi sekolah/kelas sang kepala sekolah atau guru sudah lengkap seakan-akan sudah sangat berkualitas kepala sekolah ataupun guru tersebut.

            Kepala sekolah dan guru pun enggak boleh juga sudah merasa paling pinter, sehingga enggak mau lagi mengasah diri, menambah wawasan, ini juga akhirnya seperti jalan di tempat, sebab bagaimanapun kepala sekolah dan guru harus mengikuti perkembangan iptek, sebagai pusat pembaharuan, pusat perubahan    (agent of change) di sekolah.

            Ketika hasil ujian turun maka guru dan kepala sekolahlah yang paling pertamakali disalahkan. Begitu juga ketika ada anak-anak sekolah tawuran guru dan kepala sekolah jugalah yang paling pertamakali  disalahkan, padahal kejadian di luar jam sekolah. Seharusnya kita termasuk masyarakat serta para stakeholder pendidikan enggak boleh terlalu mudah menyalahkan guru dan kepala sekolah.            

            Ketika ada anak sekolah yang  mau gantung diri seolah-olah yang disalahkan guru dan kepala sekolah atau pendidikan, sebab sang anak takut dihukum gurunya karena enggak membuat pekerjaan rumahlah (PR) atau belom bayar uang sekolah dan sebagainya. Ada pencuri ketangkap yang disalahkan juga guru dan kepala sekolah atau pendidikan, karena sang pencuri dengan entengnya memberi alasan “Saya mencuri untuk biaya anak yang belom bayar sekolah”. Lagi-lagi secara moral guru, kepala sekolah dan pendidikan yang disalahkan.

            Masih banyak kejadian-kejadian yang enggak ada hubungan langsung dengan guru, kepala sekolah dan pendidikan, tetapi guru, kepala sekolah atau pendidikan dijadikan kambing hitam. Tugas kepala sekolah dan guru sudah terlalu banyak, mikirin e-absensi saja sudah kocar kacir, di samping tugas ke-profesiannya, kepala sekolah dan guru juga mempunyai tugas kemanusiaan, tugas kemasyarakatan yang kalau dirinci satu persatu bejibun.

            Sekarang banyak sekali sinetron, maupun pelawak yang mengenakan seragam sekolah. Niatnya sih baik, yaitu untuk mengangkat martabat pendidikan, namun menurut penulis justru melecehkan pendidikan itu sendiri. Sebenarnya banyak sekali film ataupun sinetron yang berkualitas, sebut saja Laskar Pelangi, Sang Pencerah, Garuda di dadaku, Para Pencari Tuhan (PPT) dan seterusnya.

            Seandainya para produser ataupun para sutradara mau menyelamatkan anak-anak bangsa ini dari bencana moral, buatlah film atau sinetron yang berkualitas seperti yang disebut di atas. Kalau para produser ataupun para sutradara mau sedikit berbagi tugas dan mau menyumbangkan kemampuannya untuk dunia pendidikan secara umum, mungkin secara moral tugas-tugas guru akan berkurang. Masyarakatpun harus ikut mendukung pembuatan film-film atau sinetron-sinetron yang berkualitas itu, yang pada akhirnya generasi muda mendatang akan ikut bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya.

Sertifikasi Bukan Malaikat

 

            Jangan sampai ada kesan, seolah-olah guru yang sudah di sertifikasi sebagai jelmaan malaikat yang bisa mengatasi semua problmatika pendidikan disekolahnya. Sertifikasi guru bukan ukuran yang tepat untuk menilai peningkatan mutu guru. Sebab, sertifikasi guru lebih merupakan proses untuk menetapkan guru apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai ketentuan yang berlaku, sebab ini juga amanat undang-undang.

            Di dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2005 pasal 11 dikatakan “Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. (3) Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

            Masalahnya, peningkatan mutu guru setelah disertifikasi enggak otomatis meningkat tajam. Karena itu, program sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah hingga tahun 2015, baik lewat penilaian portofolio maupun pendidikan dan pelatihan guru, tetap harus diikuti dengan pembinaan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan dan sistematis.

            Penulis sangat setuju apa yang dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Dr. Sulistiyo, M.Pd  pasca rapat koordinasi nasional PGRI. mengatakan, “Jika pemerintah dan masyarakat belum puas dengan kinerja guru setelah disertifikasi, jangan hanya menyalahkan guru. Selama ini, pembinaan dan pelatihan pada guru secara massal ketika ada kebijakan pendidikan yang berubah. Tetapi pembinaan secara sistematis dan komprhensif tidak terjadi,”

            Sulistiyo menambahkan,  peningkatan mutu guru tidak bisa dilaksanakan dengan pendekatan proyek. Untuk itu, keseriusan penanganan guru harus jadi komitmen pemerintah. Salah satunya lewat direktorat jenderal peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang sudah ada.

            “Bukan dibongkar-pasang sesukanya. Potret guru saat ini merupakan hasil dari pembinaan di masa lalu. Kita sudah tidak bisa coba-coba lagi dalam peningkatan mutu guru. Kita mesti sudah punya sistem pembinaan profesionalisme guru yang mantap,” jelas Sulistiyo. (Kompas, 27 September 2010).

            Pada kesempatan yang sama Ketua Harian Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi mengatakan peningkatan mutu guru pasca sertifikasi ada, namun belum signifikan. Namun, kenyataan itu bukan berarti sertifikasi tidak berhasil.

            Masih menurut Unifah, profesionalisme guru dapat berjalan jika ada sebuah sistem yang terus-menerus menjaga pembinaan guru berjalan. Selain itu, dalam diri guru itu sendiri harus ada komitmen untuk menjadi guru sejati.

            Unifah mencontohkan, di Singapura pemerintah mengharuskan guru mendapatkan pelatihan selama 100 jam per tahun. “Para guru terus mendapat pelatihan mendasar untuk membuat mereka kaya dalam mengembangkan metodologi dan bahan ajar untuk mendorong prestasi siswa,” ungkapnya. (Kompas, 27 September 2010). ◙Hamka /P.01.(Gema No. 11 Tahun 2010)

Ketika Guru Tersenyum

Gambar

Ketika Guru Tersenyum

Oleh Drs. HAMKA, M.Pd

Pengawas Utama Jakarta Barat

Nampak sekali wajah-wajah sumringah para pahlawan pendidikan ketika mendatangi ATM-ATM Bank DKI, baik yang berada di bank itu sendiri maupun di supermarket-supermarket terdekat. Kabar naiknya Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) para pahlawan pendidikan (guru) itu tersebar dari mulut ke mulut, ada yang mendapat kabar dari temannya, ada yang mendapat berita dari atasannya setelah sosialisasi dari BKD Provinsi DKI Jakarta.

Secara kasat mata, wajah ceria dan bersinar itu nyata sekali terlihat di raut wajah para pejuang masa depan bangsa yang baru saja melihat printout buku tabungan monas di Bank DKI di akhir minggu ketiga April lalu. (untuk DKI baca saja buku tabungan monas). Dan nampak beberapa orang berseragam biru dongker sambil tersenyum  simpul dan bersenandungria setelah mendatangi ATM-ATM di Supermarket-supermarket terdekat dari tempat tinggalnya sekitar Jabodetabek.

“Saya bersyukur sekali TKD  saya sudah naik, ternyata kenaikan TKD guru bukan mimpi di siang bolong dan ini benar-benar terjadi. Mudah-mudahan ini awal dari kebangkitan dunia pendidikan, khususnya di DKI Jakarta” ungkap Hj. Rr. Sri Yuniarti, M.Pd salah seorang kepala sekolah SD di bilangan Jakarta Barat bergolongan IV/a yang juga Sekertaris II PGRI Jakarta Barat, hal ini juga dibenarkan Drs. H. Abdul Rohim, MM salah seorang calon pengawas TK/SD dari Kecamatan Kembangan Jakarta Barat yang juga Ketua PGRI Kecamatan Kembangan.

Dalam Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta, ditandatangani langsung oleh Dr. H. Fauzi Bowo selaku Gubernur DKI Jakarta bernomor. 38 tahun 2011. Dalam Surat Keputusan ini dijelaskan sebagai berikut;    (1) Golongan II/a s.d II/d Rp. 2.931.750,- (2) Golongan III/a s.d III/b Rp. 3.653.750,- (3) Golongan III/c s.d III/d Rp. 3.885.000,- (4) Golongan IV/a s.d IV/b Rp 4.116.250,- (5) Golongan IV/c s.d IV/d Rp. 4.347.500,-.

Hal ini tentunya disambut baik para pengukir masa depan bangsa (guru), apalagi kabar naiknya TKD sudah lama terdengar. Sekarang guru boleh tersenyum, karena pangkat/golongannya dihargai oleh Pemda DKI Jakarta. Selama ini guru mendapatkan TKD sama rata, dari golongan II/a – IV/e, yaitu Rp. 2.900.000 (Dua juta sembilan ratus ribu rupiah, belom dipotong pajak) tetapi sekarang sudah mendekati adil’. Paling enggak TKD sekarang sudah bisa mengobati penantian para guru yang pernah dijanjikan PGRI DKI Jakarta.

Dalam konteks peningkatan kesejahteraan para guru di DKI Jakarta secara umum, PGRI DKI Jakarta mempunyai peran yang besar terhadap peningkatan TKD para guru. Ini dibuktikannya dengan mengirim surat kepada Gubernur provinsi DKI Jakarta tertanggal 6 April Tahun 2010 lalu, yang ditandatangani langsung oleh Sekertaris Drs. H. Adi Dasmin, MM dan Ketua Drs. H. Moh. Arief, M.Pd.

Peningkatan TKD para guru juga seharusnya diimbangi dengan kinerja atau kualitas kerja guru itu sendiri, biar bagaimanapun guru juga harus bersyukur, karena pada dasarnya baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat sudah mempunyai komitnen terhadap kesejahteraan guru secara umum. Komitmen Pemda DKI dengan kenaikkan TKDnya, sedangkan Pemerintah Pusat dengan Sertifikasinya. Kalau komponen bangsa ini enggak maubersyukur penulis khawatir kita menjadi bangsa yang ter-azab, hina dan nista.

Kalau penulis enggak salah dengar,  Imam Syafi’i pernah berkata “Barang siapa yang mensyukuri apa yang ada pada dirinya, niscaya orang itu akan lepas dari rasa nista”

Apalagi kalau penulis boleh mengutif Firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.

Jangan sampai kenaikan TKD menjadi laknat bukan nikmat atau rakhmat dalam diri kita, apalagi disinyalir adanya korelasi antara kenaikan TKD dengan meningkatnya perceraian pegawai di DKI Jakarta. Ini pertanda petaka bagi kita semua. Mungkin karena kita kurang bersyukur dan kurang memaknai hidup, sehingga enggak ada keberkahan dalam hidup kita. Muda-mudahan ini hanyalah kabar burung yang enggak pernah terjadi, apalagi pada komunitas pendidikan di DKI Jakarta. Marilah kita songsong masa depan lebih baik, agar hidup kita lebih hidup dan berkualita◙Hamka/P.01

Guru Terabaikan, Tetapi Diperlukan

Oleh Drs. HAMKA, M.Pd

Kepala SDN. Cengkareng Barat 13 Pagi

Menurut saya gedung sekolah boleh tidak ada, bangku boleh tidak ada, papan tulis boleh tidak ada, serta mobiler lainnya boleh tidak ada. Kalau semua yang disebut di atas tidak ada proses belajar mengajar masih bisa berjalan, tetapi kalau guru tidak ada proses belajar mengajar tidak akan terjadi, tidak akan ada proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar bisa dilakukan di kebun, di bawah pohon, dihalaman sekolah dan seterusnya bisa dilaksanakan. Akan tetapi apakah semua itu bisa terlaksana tanpa guru?. Sekarang timbul pertanyaan apakah benar guru masih diperlukan tetapi terabaikan? Ini pertanyaan yang perlu kita jawab bersama.

Mau tidak mau  kita harus mengakui, guru memang memegang kunci utama sukses tidaknya proses belajar mengajar di sekolah. Memang, faktor guru sebenarnya merupakan salah satu dari lima faktor atau imfra struktur pendidikan yang menentukan. Gedung sekolah boleh mentereng, ruangan terasa sejuk karena menggunakan mesin pendingin, peralatan laboratorium paling mutakhir, kurikulum paling hebat se-Asia, tetapi kalau gurunya tidak bergairah, ya sama saja. Sebaliknya, meski peralatan yang tersedia tidak begitu hebat, fasilitas yang tersedia amat terbatas, tetapi bila ditangani oleh guru yang baik, yang mengerti tugasnya, yang memahami kewajibannya, bisa diharapkan proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik.

Betul bahwa, dalam dunia pendidikan ada sejumlah variabel yang saling terkait dan saling mengisi. Vriabel-variabel itu adalah, pertama, hardware yang meliputi gedung sekolah, ruang kelas, laboratorium, peralatan praktikum, perpustakaan, dan sebagainya. Kedua, software yang mencakup kurikulum, program pengajaran, sistem pembelajaran, dan sebagainya. Ketiga, brainware yang meliputi guru, murid, orangtua murid, kepala sekolah, dan siapa pun yang terkait proses pendidikan. Keempat, netware yang berkaitan dengan jaringan dan kerja sama baik antarguru dengan instansi sekolah, dengan lembaga yang mampu meng-up grade guru, sekolah dengan lembaga pemerintah, dan sebagainya. Kelima, dataware yang mencakup keterangan jumlah murid, jumlah guru, alur lulusan, asal pendidikan guru, kapan mulai mengajar, sudah berapa lama mengajar, dan sebagainya.

Penulis tetap mempunyai keyakinan, peran utama pendidikan ada pada guru. Karena itu, pendidikan guru menjadi amat menentukan. Untuk guru SD, rasanya tidak lagi cukup bila hanya berpendidikan D-2. Dari segi usia, lulusan D-2 itu baru berusia 20 tahun. Kedewasaan macam apa yang bisa didapat. Di depan kelas, ia tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi pendidik. Sudah saatnya guru SD berpendidikan S-1. Sebab setidaknya kalau tamatan S-1 usianya 23 tahun, sudah lumayan dewasalah dan mudah-mudahan mau membuka diri, wawasannya lebih luas, tetapi juga jangan merasa sudah paling pintar, yang akhirnya lupa diri tidak mau belajar lagi  seperti lari ditempat.

Tidak bisa dipungkiri, perubahan zaman juga mengubah pandangan masyarakat terhadap profesi guru. Di lain pihak, munculnya realitas baru di masyarakat juga ikut mengubah sosok guru, sebagai makhluk serba tahu, serba bisa, dan memiliki wibawa tinggi (well Informed). Guru di masa lalu dinilai memiliki kualitas, karakternya kuat, memiliki semangat berkorban untuk masyarakat. Karena itu, para guru di masa lalu juga memiliki peran penting di masyarakat. Paling tidak, mereka sering dianggap berkemampuan membimbing masyarakat. Pendek kata, guru dianggap paling tahu, paling pas diminta nasihat, dan cocok dijadikan pembimbing masyarakat.

Benarkah sosok guru sudah mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman?. Dulu guru bisa hidup berkecukupan di tengah masyarakat yang kekurangan. Kini, justru sebaliknya, guru hidup berkekurangan di tengah masyarakat yang kian pandai dan berkecukupan secara ekonomi. Sejalan dengan perkembangan zaman, peran guru pun mengalami reduksi oleh kecenderungan spesialisasi bidang ilmu pengetahuan. Peran guru di masa lalu pun kini sudah diambil alih oleh anggota masyarakat yang dinilai lebih mampu. Benarkah demikian?

Guru, kini tidak lagi menjadi “cita-cita luhur”. Profesi guru, kini tidak lagi menjadi cita-cita anak-anak Indonesia yang cerdas. Anak Indonesia yang cerdas kelihatannya tidak melirik jabatan guru sebagai cita-citanya. Mereka lebih senang dengan jabatan non-guru karena mungkin penghasilannya lebih menarik ketimbang penghasilan guru. Apakah fenomena ini benar? Mungkin ada benarnya. Sebab penulis mengalami sendiri ketika bertanya kepada sang anak “Nak kamu masuk FKIP (dulu IKIP) saja yah, nanti jadi guru saja, sebab masa depan guru akan lebih diperhatikan oleh pemerintah!” si anak menjawab dengan tegas ‘saya tidak ada bakat Pak!’ ungkap si anak” akhirnya penulis dengan hati yang lapang tidak bisa berbuat banyak.

Sudah hampir menjadi rahasia umum bahwa kini, menjadi guru umumnya bukan karena cita-cita murni, tetapi karena keadaan. Mereka yang masuk lembaga pendidikan guru umumnya bukan berasal dari orang kota, kaya, dan pandai. Mereka yang memasuki lembaga pendidikan guru berasal dari desa atau pinggiran kota, yang tidak memperoleh penempaan dan persiapan di sekolah yang baik.

Sejak dari SD, mereka yang lulus dengan nilai dan kemampuan terbaik akan mencari SLTP favorit. Lulusan “kelas dua” terpaksa masuk SLTP yang kurang begitu bermutu. Ketika lulus SLTP, lulusan dengan nilai dan kemampuan terbaik akan mencari SLTA yang baik pula. Sementara lulusan “kelas dua” terpaksa mencari SMU tidak favorit atau sekolah kejuruan. Begitu pula saat lulus SLTA. Lulusan dengan nilai dan kemampuan terbaik akan mencari perguruan tinggi yang terbaik dan baik pula. “Sisanya” harus rela masuk perguruan tinggi “kelas dua” atau masuk fakultas-fakultas pendidikan.

Karena yang menjadi guru umumnya bukan berasal dari bibit-bibit istimewa, bisa dipastikan hasilnya pun tidak maksimal. Namun, kenyataan menunjukkan, para guru yang sebenarnya bukan berasal dari bibit-bibit hebat inilah yang mendapat tugas dan tanggung jawab amat luar biasa besar, mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Ini merupakan kenyataan atau pil pahit yang harus ditelan bangsa ini.

Melihat kenyataan ini, ada pertanyaan besar yang ingin saya sampaikan. Dalam keadaan perekonomian yang serba pas-pasan, berapa banyak yang bisa disisihkan oleh negara untuk pendidikan, terutama pendidikan guru? Yang kedua, dalam keadaan sulit ini, berapa banyak yang mau diinvestasikan negara untuk memajukan pendidikan, terutama pendidikan guru? Pertanyaan ini harus dijawab kalau kita benar-benar prihatin terhadap pendidikan dan melihat bahwa guru mempunyai peran sentral dalam pendidikan.

Malik Fadjar mengatakan “Rancangan Undang-undang tentang Guru agar segera diundangkan menjadi Undang-undang”.Dengan adanya Undang-undang tentang Guru maka hal ini akan menjamin perlindungan terhadap profesi guru dan masyarakat akan memperoleh pelayanan pendidikan yang berkualitas dan profesi guru akan diminati kembali oleh generasi muda yang berkualitas” (Gema No. 2.Th. IX.  2004)

Melihat “kurangnya bekal” yang diperoleh para guru sebelum mengajar dan minimnya kompetensi yang dimiliki membuat para guru sering kali mengharapkan adanya buku-buku yang bersifat praktis. Tidak heran bila buku-buku yang berisi pertanyaan pilihan ganda (multiple choice) berikut kunci jawaban bisa menjadi “buku pedoman” bagi guru. Dengan mudah, guru bisa mengutipkan soal. Bila jawaban tidak sesuai atau cocok dengan kunci, dengan mudah akan dikatakan salah. Ada pertanyaan begini, ‘Ketika bermain air hujan, apa yang bakal terjadi?’ Anak-anak menjawab, ‘demam’, ‘pusing’, dan sebagainya. Tetapi, itu semua disalahkan gurunya karena menurut kunci, bukan itu jawabannya. Jawabannya, ’influenza’. Lho, bagaimana ini? Haruskah konsep yang salah ini diteruskan dengan mengabadikan kesalahan? Apakah masih akan terjadi proses belajar mengajar semacam ini untuk kurikulum baru nanti (sebut saja KBK)?

Di lain pihak, keinginan sekolah untuk mengikuti perkembangan zaman sering memaksa sekolah harus mencari tenaga pengajar dari luar, yang justru tidak berasal dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (FKIP kalau dulu IKIP). Sebagai contoh, tuntutan untuk mendapatkan guru Bahasa Inggris yang baik sering memaksa sekolah justru mengimpor guru-guru dari beberapa kursus bahasa Inggris. Begitu pula untuk mengajarkan komputer, terpaksa harus diambil dari lembaga-lembaga yang memang bukan lembaga keguruan. Maklum, kalau itu semua diserahkan kepada guru yang sudah ada, dikhawatirkan pelajaran yang diharapkan bisa memberi bekal para siswa justru tidak terjadi.

Tetapi, saya mempunyai keyakinan, karena perubahan zaman, pendidikan guru yang hanya D-2 atau D-3 itu tidak lagi memadai. Guru, bagaimanapun harus berpendidikan S-1, dan sebaiknya  IP-nya 2,75. Memang harus tinggi. Ini penting, karena di SD, guru harus mengenalkan konsep. Guru harus menghadapi anak-anak, membuat mereka dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mampu. Selain itu, di SD, guru juga mulai mengenalkan konsep cara belajar yang benar. Ini penting bagi para siswa yang akan meneruskan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, guru harus bergerak, kreatif, antisipatif, dinamis, tidak menutup diri. Bila perlu guru harus merasa bodoh maksudnya agar mau belajar, belajar dan belajar terus, sehingga tidak merasa sudah paling pintar, ini bahaya, sebab guru sudah merasa puas.

Agaknya, keinginan untuk menaikkan bekal pendidikan bagi calon guru SD didukung banyak pihak meski ada juga yang menentangnya. Dasar pertimbangan yang sering diajukan, penaikkan bekal pendidikan bagi calon guru SD, dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan. Perbaikkan mutu pendidikan semestinya diawali dengan pendidikan dasar. Guru  pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP) memegang peran amat sangat penting. Karena itu, kualitas guru harus menjadi prioritas. Hal ini tentu diimbangi dengan penghasilan yang memadai, bila perlu gaji guru melebihi gaji pegawai BUMN, agar generasi muda yang cerdas melirik jabatan guru, tentu juga dibarengi dengan reward dan punishment yang seimbang dalam rangka pembinaan. ◙Hamka/P.01. (di muat di majalah Gemawidyakarya no.6 tahun 2004)

“Inspire”

“Inspire”

 

Oleh Drs. Hamka, M.Pd

Pengawas Sekolah Utama Jakarta Barat

 

 

Tanggal 25 Nopember 1994, dicanangkan pemerintah  sebagai hari guru nasional (HGN). Ini  merupakan prasasti tinta emas bagi komunitas Umar Bakri. Ini juga kita jadikan sebagai momentum untuk meningkatkan martabat guru selaku pengukir masa depan bangsa yang enggak lapuk karena hujan dan enggak rekang karena panas.

Apalagi Pemerintah  mencanangkan guru sebagai profesi, setara dengan profesi lain, ini merupakan torehan sejarah yang sangat membanggakan. Hal ini dikatakan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, pada puncak peringatan Hari Guru Nasional XI di Istana Olahraga (Istora), Senayan, Jakarta, pada 2 Desember 2004 lalu.

Sejak itulah dibuat perangkat atau aturan-aturan termasuk undang-undang no. 14 tahun 2005 yaitu tentang guru dan dosen, kemudian pemerintah juga membuat peraturan (PP) no. 74 tahun 2008 tentang guru dan perangkat-perangkat atau peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan profesionalisme guru.

Kita harus akui, di kita, di Indonesia belom banyak guru yang bisa menjadi inspirasi bagi muridnya untuk maju. Belom banyak guru yang bisa membantu peserta didik untuk mengeksplorasi pikirannya.      Ternyata masih ada guru dalam melaksanakan tugasnya hanya sekadar mengajar. Atau, guru sekadar mentransformasi informasi dari buku yang dibacanya untuk disampaikan kepada peserta didik di depan kelas.

Kalau kita amati, sebenarnya ada empat tipe guru. Pertama, guru yang baru bisa memindahkan informasi dari buku ke peserta didik di depan kelas. Kedua, guru yang baru bisa menjelaskan sebuah masalah atau bahan ajar. Ketiga, guru yang baru bisa menunjukkan bagaimana materi ajar dengan baik. Keempat, guru yang paling ideal, adalah guru yang sudah bisa menjadi inspirasi bagi muridnya untuk maju.

Memang, enggak mudah menjadi guru professional, apalagi sebagai inspire, sebab guru professional yang sekali gus sebagai inspirator adalah selain  guru itu mampu melaksananakan tugas kesehariannya dengan baik, tetapi juga guru harus bertanggung jawab terhadap bangsanya, terhadap masyarakatnya, harus mengerti tugasnya, harus memahami kewajibannya dan pada akhirnya bisa diharapkan proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik dan bermutu.

Semakin kedepan keliatannya tugas guru juga semakin berat, sebab guru harus berpacu dengan kemajuan teknologi, yang mau enggak mau, suka enggak suka harus kita ikuti. Guru, enggak perlu bisa merakit komputer, yang penting guru bisa mengoperasikan komputer sudah cukup. Guru enggak bisa menolak atau berpaling terhadap kemajuan teknologi. Guru enggak boleh tergusur kemajuan zaman, justru guru harus menjadi agen perubahan.

Dalam Permendiknas no. 16 Tahun 2007 di sebutkan guru harus memiliki empat kompetensi, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Di samping itu guru juga harus mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran.

Belom lagi kalau dilaksanakannya Peraturan Menteri Negara Aparatur Negara (Menpan) No. 16 Tahun 2009 Tentang Jsabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Di mana seorang guru kalau ingin kenaikkan pangkatnya enggak terhambat harus mengumpulkan nilai pengembangan profesi mulai dari pangkat Penata Muda atau golongan III/a mau naik pangkat ke Panata Muda TK I atau Golongan III/b membutuhkan tiga angka kredit pengembangan profesinya. Kenaikkan golongan dari III/b ke III/c perlu angka kredit pengembangan profesi empat, dari III/c ke III/d perlu angka kredit pengembangan profesi enam, dari III/d ke IV/a perlu angka kredit pengembangan profesi delapan, dari IV/a ke IV/b perlu angka kredit pengembangan profesi dua belas, dari IV/b ke IV/c perlu angka kredit pengembangan profesi empat belas, dari IV/c ke IV/d perlu angka kredit pengembangan profesi enam belas dan dari IV/d ke IV/e perlu angka kredit pengembangan profesi dua puluh,

Oleh karena itulah seharusnya instansi terkait, jangan bosan-bosan mensosialisasikan pelaksanaan Peraturan Menteri Negara Aparatur Negara (Menpan) No. 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, kalau memang regulasi ini mau dilaksanakan dengan serius. Jangan sampai teman-teman guru kaget dan enggak bisa mengantisipasi masalah ini.

Sekarang timbul pertanyaan, mungkin enggak kesemuanya itu kita bisa lalui dengan mulus, kalau kita mengoperasikan komputer saja enggak bisa. Apa mungkin di zaman se-modern sekarang kita membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) dan mengadakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di tulis tangan? Enggak mungkin-lah. Justru itulah kita sebagai guru enggak boleh gaptek (gagap teknologi) atau butek (buta teknologi).

Bukannya penulis ingin menggurui, tapi itu kenyataan, masih ada teman-teman guru yang belom bisa mengoperasikan komputer. Kita jangan malu, harus kita akui, dan kita harus belajar dan belajar, enggak ada kata terlambat dalam belajar.

Kita jangan sampai penetrasi ilmu kepada generasi muda secara parsial, yang muaranya menjadikan generasi penerus menjadi generasi putus asa, generasi yang enggak punya masa depan, generasi yang kerjanya cuma menyalahkan orang. Boro-boro kita bisa mengantarkan generasi muda kita menjadi generasi yang bertanggungjawab kepada masa depan bangsanya, kita harus bisa mengantarkan generasi muda kita untuk “bermimpi” 50 tahun kedepan.

Penulis terenyuh, ketika membaca sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh dalam memperingati Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT-PGRI ke-66 tahun 2011 lalu, dalam sambutan mendikbud itu dikatakan, seorang guru teladan pernah ditanya mengapa dia tertarik menjadi guru? Jawabnya adalah karena guru (bahkan hanya guru) yang dapat merasakan dan menyentuh pinggiran masa depan.

Dia tidak berharap dapat menyentuh masa depan karena hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Tetapi cukup dapat menyentuh pinggiran masa depan, karena melalui persinggungan dengan peserta didiknya yang mewakili masa depan tersebut, profesi guru menjadi jauh lebih menarik daripada profesi yang lain. Itulah sesungguhnya jawaban Guru Teladan.

Kemampuan menyentuh masa depan, walaupun hanya pinggirannya, menempatkan guru pada tanggung jawab yang sangat berat, namun mulia; karena kemampuan dan kesempatan itu tidak dimiliki yang lain.

Pada dirinya tertumpu beban tanggung jawab menyiapkan masa depan yang lebih baik, yaitu dengan berfungsi sebagai jembatan bagi para peserta didik untuk melintas menuju masa depan mereka. Ke masa depan yang bagaimana peserta didik akan dibawa tergantung pada jembatan (guru) itu.

Dari tiga penggalan masa (masa lalu, masa kini, dan masa depan), masa depanlah yang menjadi tujuan dengan memanfaatkan sebaik-baiknya masa lalu dan masa kini. Tugas guru sangat mulia karena menyiapkan generasi penerus demi masa depannya yang lebih baik, lebih berbudaya, dan sekaligus membangun peradaban.

Dengan demikian, secara hakiki dan asali (genuine) guru adalah mulia, menjadi guru berarti menjadi mulia, bahkan kemuliaannya sama sekali tidak memerlukan atribut tambahan (aksesori). Memuliakan profesi yang mulia (guru) adalah kemuliaan, dan hanya orang-orang mulia yang tahu bagaimana memuliakan dan menghargai kemuliaan.

Bertanggung jawab terhadap pembentukan masa depan menunjukkan bahwa guru berbeda dari profesi lainnya. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan apabila sebagai profesi, guru mendapat kehormatan memiliki Hari Guru. Kehormatan yang tinggi ini memiliki implikasi pentingnya profesionalitas guru (Depdikbud 2011).

Di tempat terpisah Direktur Jenderal Departemen Pendidikan Nasional RI Suyanto saat memperingati Hari Guru Nasional tahun 2011 lalu mengatakan” Seorang guru yang baik adalah guru yang dapat memberikan inspirasi untuk para muridnya.

Inspirasi ini ditunjukkan para guru dengan memberikan teladan dan nasihat membangun pada anak-anak didik agar mereka belajar tanpa rasa takut jika salah dan dikatakan tidak mampu”.

Motivasi, kata Suyanto, penting didapatkan anak-anak didik dari para guru. Ia meminta guru dan siswa-siswa jangan rendah diri karena sekolahnya tidak lebih besar dan lebih terkenal dari sekolah lain. Hal itu, kata dia, karena anak-anak yang berhasil di masa depan adalah anak yang diajarkan oleh orangtua dan guru-guru luar biasa, bukan bergantung dari sekolah besar dan terkenal.

“Guru harus bisa mengajak siswa yang merasa tidak bisa apa-apa untuk belajar menjadi bisa, guru profesional adalah guru yang harus bisa memberi motivasi untuk anak-anaknya. Guru tidak boleh memotivasi muridnya untuk berani mati, tapi harus memotivasi murid untuk berani menghadapi hidupnya”

“Obama pernah bersekolah di Indonesia tiga tahun di sini. Tiga tahun termasuk sesuatu yang sangat berarti untuk menjadikannya sebagai pribadi luar biasa. Jadi, guru harus bangga karena dapat melahirkan pribadi yang berhasil di masa depan”, sambung Suyanto (Kompas, 25-11-2011).

Penulis hanya ingin mengajak kepada teman-teman guru, dengan memperingati hari guru tahun 2011,  mari kita jadikan hari guru ini sebagai momentum untuk menatap masa depan lebih baik, dan hidup kita akan terasa lebih hidup dan bermutu!.

Kalau penulis enggak salah dengar, apa yang pernah dikatakan oleh Andree Wongso seorang motivator dan inspirator “Kalau kita lunak terhadap diri kita maka kehidupan akan menjadi keras, tetapi kalau kita keras terhadap diri kita maka kehidupan akan menjadi lunak”◙Hamka /P.01.