Berilah Kesempatan Guru Untuk Berpikir !

Hamka3

Berilah Kesempatan Guru Untuk Berpikir !

Oleh Drs. HAMKA, M.Pd

Kepala SDN. Cengkareng Barat 13 Pagi

Kita harus menyadari betapa besar peran guru dalam menanamkan semangat kebangsaan kepada anak-anak bangsa. Indonesia bangsa dengan puluhan ribu pulau dan beragam budaya sebenarnya cukup memenuhi syarat untuk bercerai berai. Tapi, itu tidak terjadi karena dipersatukan oleh pendidikan melalui semangat yang ditanam oleh guru. Ini menandakan, bagaimana kuatnya pengaruh pendidikan yang kita anggap sepele ini.

Akan halnya dengan pendidikan dasar, ini penting sebagai dasar untuk kehidupan. Tapi, yang terjadi selama ini, pendidikan dasar hanya mempersiapkan siswa untuk bersekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk itu, syarat-syarat yang diperlukan harus dipenuhi. Apalagi yang kadang-kadang dengan kebijakan para pengambil keputusan yang terkesan setandar ganda, ini membuat manajemen bawah semakin sulit untuk berkreasi.

Pendidikan dasar tidak mempersiapkan anak dasar kehidupan. Pendek kata, nanti setelah merampungkan pendidikannya di perguruan tinggi, baru belajar hidup. Itu karena tidak diajarkan  dasar-dasar untuk kehidupan saat belajar di jenjang pendidikan sebelumnya?

Mendidik para siswa untuk sekedar mencari nafkah saja belum dapat kita laksanakan dengan baik. Ini disebabkan masih adanya keterasingan pada sistem pendidikan kita terhadap kenyataan yang terus berkembang diluar sekolah apalagi dengan kemajuan teknologi sekarang ini. Jadi, persoalannya sekarang bagaimana mendekatkan sekolah kita kepada dunia nyata di luar sekolah.

Sebenarnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sangat-sangat baik kalau dilaksanakan dengan serius, walaupun dengan resiko cost-nya besar. Sebab tujuan KBK Sebenarnya untuk memperkecil kesenjangan antara situasi di dalam kelas dengan situasi di luar kelas, sehingga siswa/i merasa betah di dalam kelas100_4160

Menurut Winarno Surachmat pakar pendidikan mengatakan “Kurikulum yang cocok sekarang ialah Kurikulum Kehidupan”, mungkin maksud pak Winarno agar suasana di dalam kelas tidak berbeda sama sekali dengan suasana di luar kelas. Hal inilah yang perlu disokong oleh semua pihak terutama para birokrat dan praktisi pendidikan di Indonesia.

Mempersiapkan para siswa untuk menjalani kehidupan yang bermaknapun belum dapat kita lakukan. Penyebabnya ialah karena dalam seluruh jenjang pendidikan, dari pendidikan dasar sampai kependidikan tinggi, kita tidak pernah membicarakan masalah makna ataupun arti hidup. Yang selalu dibicarakan adalah “keberhasilan hidup” (success in life).

Namun, apakah setiap “keberhasilan”, setiap “success”, selalu membawa kita ke kehidupan yang berarti atau bermakna? Menjadi Pejabat atau pengusaha kita pandang sebagai suatu keberhasilan. Akan tetapi, apakah setiap kehidupan pejabat atau pengusaha tersebut merupakan kehidupan yang bermakna? Menjadi Presiden, Jenderal, menjadi pengusaaha sukses, dan menjadi Profesor, selalu kita pandang sebagai suatu keberhasilan. Akan tetapi, apakah kehidupan setiap pejabat, Jenderal, setiap pengusaha, setiap Profesor, selalu merupakan kehidupan yang berarti atau bermakna?

Kehidupan yang bermakna adalah masalah pribadi. Kehidupan yang bermakna adalah hasil dari pengenalan diri sendiri, dan pengetahuan mengenai bagaimana menyatakan jati diri secara berarti dalam berbagai lingkungan kehidupannya. Kehidupan pribadi yang bermakna ini dapat dituangkan dalam berbagai bentuk. Mudah-mudahan dengan semangat dan roh KBK kita bisa membekali anak didik mengenal hidup bermakna, “Apasih, guna kita untuk orang lian, tetapi bukan guna orang lain untuk kita”!

Untuk membimbing para siswa mengenali diri sendiri dan mengenali fitrah pribadinya dalam kehidupan, diperlukan suatu program pendidikan yang bersifat “personalized”. Ini tidak pernah  atau jarang sekali kita lakukan di sekolah-sekolah kita. Jadi, kalau kita ingin mempersiapkan siswa-siswa kita untuk mengenali dirinya secara baik dan untuk memahami misi hidupnya secara baik pula, praktek pengajaran klasikal harus dilanjutkan dengan praktek “personalized education” tadi.

Cara yang paling baik untuk tujuan ini adalah memberikan kesempatan dan mendorong para siswa untuk memperoleh pengalaman-pengalaman pendidikan non formal (masyarakat) dan informal (keluarga), disamping pendidikan formal (sekolah) yang mereka peroleh dari kurikulum sekolah.

Dilihat dari perinsip ini, maka kurikulum yang menyita seluruh waktu dan energi anak, sehingga anak didik tidak sempat memikirkan, siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebaiknya ia lakukan dalam kehidupannya. Ini merupakan suatu blunder dunia pendidikan kita. Pada akhirnya, tidak boleh kita lupakan bahwa keberhasilan setiap manusia dalam hidupnya ditentukan oleh kemampuannya untuk mengawinkan hasil-hasil yang diperolehnya dari tiga jenis pendidikan tadi : formal (sekolah), nonformal (masyarakat) dan informal (keluarga).

Apa yang harus kita lakukan untuk membimbing para siswa memupuk kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan? Memberikan pendidikan yang bulat dan mendasar! Memberikan pendidikan yang bersifat komprehensif dan menyentuh “the basics”. Memberikan pendidikan yang memberi kemampuan kepada para siswa untuk menggapai dan menangkap makna kehidupan itu sendiri.

Kehidupan modern yang penuh dengan berbagai ketimpangan, pertentangan, dan kemajuan, dapat membuat manusia kehilangan maknanya dalam hidup. Untuk menghindari hal ini, dianjurkannya suatu program pendidikan umum yang dapat memberikan kemampuan kepada para siswa untuk menangkap berbagai jenis makna (meaning) yang terdapat dalam kehidupan.

Filosofi pendidikan “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” yang ditanamkan pendiri negeri ini, diakuinya sebagai landasan yang bagus. “Tapi, setelah hampir 60 tahun merdeka, tidak cerdas-cerdas,”Pangkal soalnya, akibat pendidikan yang diselenggarakan tanpa dasar. Soal tuduhan sebagian orang pada pendidikan di Indonesia yang dianggap terlalu kognitif, misalnya. Tuduhan itu, seharusnya kita terima dengan lapang dada. Karena kognitif pun perlu dipertanyakan,”

Pendidikan di Indonesia bagaimana reaksi seekor monyet yang selalu diberi pisang berwarna kuning. Setiap kali diberikan pisang, binatang itu selalu menyambutnya. Bila diberikan buah sama yang warnanya hijau, monyet enggak dibiarkan mengambilnya. Pendidikan di Indonesia, enggak jauh beda dengan itu. Anak didik hanya dilatih untuk mengetahui sesuatu.

Demikian pula dengan kurikulum. Saat kurikulum dibuat, guru tidak pernah ditanya. Guru hanya diminta melaksanakan, mengajarkan pelajaran sesuai kurikulum. Kalau tidak tahu, ditatar dulu. Dalam kondisi seperti ini, bisakah guru akan memperlakukan cara yang memanusiakan manusia dalam mengajarkan anak didiknyakalau dia tidak diperlakukan seperti itu? ”Seharusnya, kasihlah guru kesempatan untuk berpikir”!.

Mau tidak mau  suka tidak suka kita harus mengakui, guru memang memegang kunci utama sukses tidaknya proses belajar mengajar di sekolah. Memang, faktor guru sebenarnya merupakan salah satu dari lima faktor atau imfra struktur pendidikan yang menentukan. Gedung sekolah boleh mentereng, ruangan terasa sejuk karena menggunakan mesin pendingin, peralatan laboratorium paling mutakhir, kurikulum paling hebat se-Asia Pasifik, tetapi kalau gurunya tidak bergairah, tidak semangat ya sama saja. Sebaliknya, meski peralatan yang tersedia tidak begitu memadai, fasilitas yang tersedia amat sederhana, tetapi bila ditangani oleh guru yang baik, yang mengerti tugasnya, yang memahami kewajibannya, bisa diharapkan proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik.

Betul bahwa, dalam dunia pendidikan ada sejumlah variabel yang saling terkait dan saling mengisi. Vriabel-variabel itu adalah, pertama, hardware yang meliputi gedung sekolah, ruang kelas, laboratorium, peralatan praktikum, perpustakaan, dan sebagainya. Kedua, software yang mencakup kurikulum, program pengajaran, sistem pembelajaran, dan sebagainya. Ketiga, brainware yang meliputi guru, murid, orangtua murid, kepala sekolah, dan siapa pun yang terkait proses pendidikan. Keempat, netware yang berkaitan dengan jaringan dan kerja sama baik antarguru dengan instansi sekolah, dengan lembaga yang mampu meng-up grade guru, sekolah dengan lembaga pemerintah, dan sebagainya. Kelima, dataware yang mencakup keterangan jumlah murid, jumlah guru, alur lulusan, asal pendidikan guru, kapan mulai mengajar, sudah berapa lama mengajar, dan sebagainya.100_4167

Sudah saatnya pendidikan terlepas dari kepentingan politik praktis, gara-gara kepentingan-kepentingan politik peraktis sampai sekarang Undang-Undang Guru belum juga selesai. Malik Fadjar mantan Mendiknas mengatakan “Rancangan Undang-Undang tentang Guru agar segera diundangkan menjadi Undang-Undang”.Dengan adanya Undang-Undang tentang Guru maka hal ini akan menjamin perlindungan terhadap profesi guru dan masyarakat akan memperoleh pelayanan pendidikan yang berkualitas dan profesi guru akan diminati kembali oleh generasi muda yang berkualitas dan cerdas” (Gema No. 2.Th. IX.  2004)

Rektor UNJ Sutjipto mengatakan  “Undang-Undang tentang guru itu bukan hanya mengatur guru. Tetapi, semua tenaga kerja yang terkait dengan tenaga pendidikan, yaitu dosen, inspektorat, administrator, dan birokrasi seperti dibentuknya Direktorat Jenderal Tenaga Guru dan Dinas Tenaga Guru untuk di daerah-daerah”.

“Muara dari Undang-Undang itu bukan sekadar meningkatkan kesejahteraan guru, seperti yang selama ini dikeluhkan guru. Akan tetapi, bagaimana meningkatkan wibawa dan martabat guru, membenahi sistem perekrutan, jenjang karier dan lain-lain” tutur Sutjipto.

Sementara itu, Ketua PGRI HM Surya, mengatakan “Perlunya dibuat Undang-Undang ini merupakan aspirasi guru yang tergabung dalam PGRI. Kongres XIX PGRI di Semarang pada Juli 2003, mengamanatkan Pengurus Besar PGRI untuk memperjuangkan Undang-Undang Guru disahkan selambat-lambatnya pada 2005. “Amanat pembuatan Undang-Undang Guru ini adalah aspirasi dari 1,5 juta anggota PGRI,” tegas Surya. (Media Indonesia. Nopember 2004)◙Hamka/P.01 (Gema No. 02 Taun 2005)

Posted on November 27, 2012, in Uncategorized. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar